...Padamu, akulah keluarga menghadap gunung. Letus api dan kedinginan melahirkan kisahku...
POTONGAN syair T Wijaya di atas, dikutip dari dinding jejaring sosial facebook, media komunikasi peradaban masyarakat masa kini. Kata-kata itu “terpahat” dalam bentuk tulisan, setelah penyair Palembang ini membaca laporan Ekspedisi Megalitik Pasemah yang dilakukan Tim Sriwijaya Post, baik melalui jaringat internet maupun koran cetak pekan akhir tahun 2011.
Perjalanan menyusuri jejak peta topografi yang menggambarkan sebaran situs arkeologi yang dikeluarkan Kantor Balai Arkeologi Palembang tahun 2007. Jejak sebaran batu megalit berupa arca manusia dan binatang, menhir (batu tegak) dan dolmen lempengan batu berbentuk meja dan bilik batu (chamber stone ada pula yang menyebutnya rumah batu atau kubur batu –karena bangunan ini berada di bawah permukaan tanah), lesung, maupun batu dakon –batu berlubang.
Sebaran megalit, batu yang telah mendapat sentuhan dan pahatan manusia, terbentang di kawasan di sepanjang aliran utama (mainstream) Sungai Lematang dan anak-anak sungai, terutama Sungai Selangis, Sungai Endikat dan Sungai Mulak. Membentang dari Timur ke Barat menuju ke Gunung Dempo.
Gunung Dempo berketinggian 3.159 meter dari permukaan laut (mdpl), merupakan titik tertinggi di wilayah Sumatera bagian Selatan. Pada cuaca cerah, gunung yang berada kawasan gugusan Pegunungan Bukit-Barisan ini, puncak Dempo terlihat dari pesawat ketika mulai terbang atau mendarat di kota Palembang yang berjarak sekitar 200 kilometer –ditarik garis lurus.
Aliran sungai-sungai dan puncak Gunung Dempo menjadi penanda (signified) dan –secara konsisten—berkaitan dengan keberadaan sebaran situs-situs megalitik di wilayah administratif Kabupaten Lahat. Kini, Pagaralam –secara geografi berada di lembah pegunungan Dempo-- menjadi pemerintahan kota, sebagian situs itu berada di wilayah Kota Pagaralam.
Cerita tentang batu berukir ini menjadi bagian dari budaya masyarakat Pasemah (sebutan lain Besemah yang diambil dari nama ikan Semah atau ikan cengkak atau nama Latin-nya Tor douronesi). Masyarakat yang mendiami di kawasan dataran tinggi Dempo dan Bukit Barisan.
Etnik Pasemah yang sebagian besar bercocok tanam dan berkebun ini, berkembang menjadi sub-sub etnik seperti Semendo, Ogan Ulu, Kisam sampai ke Way Tenong (Lampung Barat) hingga Sumberjaya, Kabuapten Tanggamus Lampung Selatan. Konon, mereka berasal dari Bukit Lumut, menjadi cikal bakal komunitas yang berdiam di dataran tinggi Bukit Barisan, tersebar ke Bengkulu, Lampung dan tentu saja Sumatera Selatan.
Peradaban megalitikum Pasemah ini, menurut peneliti dari Balar Palembang Kristantina Indriastuti (46), usianya ada yang mencapai 5.000 sampai 2.000 tahun Sebelum Masehi . Peradaban manusia di dataran tinggi Pasemah sudah berlangsung jauh sebelum kedatangan Kerajaan Sriwijayayang diperkirakan berlangsung antara abad ke-6 sampai ke-9 Masehi. Kesimpulan tentang kehidupan era Sriwijaya ini berdasarkan temuan Prasasti Kedukan Bukit bertahun 683 M dan temuan lain seperti Prasati Batukapur (Bangka Barat) dan sejumlah prasasti di sekitar kota Palembang.
Kajian intensif peneliti Balar Palembang dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 20 tahun terakhir, setidaknya dapat mempertahankan eksistensi temuan benda-benda purbakala. Benda-benda prasejarah yang tersebar di kawasan lebih dari 80.000 hektare dari Lahat sampai ke Gunung Dempo . menjadi peninggalan terbesar budaya megalitikum di Indonesia, seperti masyakat Nias (Sumatera Utara) dan Nusa Tenggara Timur. Sedikitnya 20 lokasi peninggalan megalitik, “Kemungkinan temuan akan terus bertambah,” kata Prof Dr Haris Sukendar, pakar megalitik dari Puslit Arkenas, bebarapa waktu lalu.
Haris Sukendar sejak tahun 1990 telah menjelajah wilayah Pasemah hingga ke kawasan hutan Rimba Candi, Bukit Barisan, perbatasan Sumatera Selatan dan Bengkulu. Penelitian semakin intensif pasca tahun 1990-an. Sebenarnya sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda, peneliti dari Belanda Van der Hoop telah mendata sebagian besar peninggalan megalit selam dua tahun, berdasarkan laporan masyarakat Pasemah.
Tahun 1970-an penelitian serupa dilakukan bahkan mereka tinggal bertahun-tahun dan ikut merasakan kehidupan masyarakat Pasemah yang lebih “modern”. Pertengahan tahun 2011, arkeolog Balar Palembang Retno Purwanti, mempublikasi hasil penelitaian orang Korea bahwa usul nenek moyang mereka berasal dari Pasemah.
Klaim peneliti Korea ini menjadi logis apabila mengikuti hipotesis Prof Arysio Santos yang menulis buku Atlantis: The Lost Continent Finally Found, Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia, versi terjemahan. Hasil penelitian Santos yang pakar fisika-nuklir selama 30 tahun, ciri-ciri kerajaan Atlantis yang hilang cocok dengan wilayah Nusantara. Dan Gunung Dempo disebut sebagai satu dari tiga pilar langit, bersama gunung api purba Toba dan Krakatau.
Peradaban Pasemah, menurut Kristanti, berkaitan dengan temuan perdaban manusia Goa yang hidup di masa Pleistosen yang berlangsung 74.000 tahun SM, era zaman es sebelum mencair 11.600 tahun SM, seperti teori yang diajukan oleh Santos. Fosil manusia goa ditemukan di Goa Harimau, Ogan Komering Ulu, yang terdapat di dekat aliran Sungai Ogan atau selatan Gunung Dempo.
Situs megalitik Pasemah bisa menjadi “pintu masuk” untuk mengungkap peradaban di Sumatera Selatan, yang masih menjadi misteri. Bukan sebatas mengumpulkan temuan-temuan situs megalitik baru, tetapi membaca simbol, tanda-tandadan pesan yang ditinggalkan melalui torehan yang dibentuknya; Tetapi membaca isi pesan yang melalui media batu-batu yang teronggok seperti benda mati dan sebagian sudah dirusak.
Perjalanan menelusuri sebaran situs megalitik membuat kita tak berdaya. Bagaikan orang “buta hurup” yang tak mampu membaca dan memahami pesan pembuat bilik batu yang membelakangi atau menghadap Dempo, jika dibandingkan rumah baghi berukir secara vertikal dan horizontal berusia ratusan tahun .
Tim tak mampu membaca teks arca sepasang harimau bertunggangan sambil mencengkeram anak kecil di Situs Pagaralam, Kecamatan Pagargunung (Lahat); Dua situs batu berukir manusia dua manusia dililit ular di situs Tanjungaro (Pagaralam) dan di Desa Pulaupanggung, Kecamatan Pajarbulan (Lahat). Atau batu berlubang (dakon) dan lesung batu, di situs Tinggihari, Pajarbulan (Lahat), situs Batu Gong, Belumai dan Tegurwangi (Pagaralam).
Media yang digunakan untuk menuliskan syair T Wijaya di atas, mudah dipahami karena kita berada di masa peradaban, bahasa, dan simbol yang sama; Dan mengetahui konteks lahirnya pesan yang disampaikan. Syairnya tak terbaca di komputer yang rusak. (Sumber: Sriwijaya Post)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar