Selasa, 30 Juli 2013

MELIHAT KONFLIK SURIAH DENGAN JERNIH

Sebenarnya, situasi timur tengah memiliki akar pertentangan politik yang panjang baik antar negara di kawasan itu, atau dengan imperialis yang berbasis di Eropa termasuk Amerika. Di samping itu, bukan rahasia umum bahwa keberadaan Israel dengan statusnya sebagai imigran yang kontroversial memiliki ambisi guna mendapat kejelasan status berupa pengakuan identitas  yang itu bergantung kepada sejauh mana penguasaan terhadap teritori Palestina secara penuh, serta pengakuan dari bangsa arab yang belum kunjung mereka dapatkan.

Dalam konteks perpolitikan satu dekade terakhir, tepatnya setelah Amerika mempropagandakan terorisme sebagai sebuah legalisasi atas invansi langsung terhadap Iraq, dan dengan dukungan kekuatan barat, timur tengah berangsur memasuki gejolak yang menandai dimulainya fase baru dalam ranah sosial dan politik.  Keruntuhan rezim Saddam Husain merupakan kesuksesan yang setidaknya mengurangi kegelisahan Amerika serta membuka jalan bagi segala kepentingan yang hendak diinfiltrasikan oleh negeri paman sam dan aliansinya. Suriah, memiliki peran penting menghadang kepentingan Israel dan Amerika yang notabenenya sebagai sponsor utama dari proyek invansi timur tengah yang sedang berlangsung sampai saat ini.


Di sisi lain, gejolak sosial-politik beberapa negara di timur tengah, spesifiknya fenomena Arab Spring (2011), merupakan pengalaman yang memberikan pelajaran penting bahwa amerika, israel dan sekutunya bukanlah pihak yang representatif berbicara tentang perdamaian, demokrasi apalagi HAM. Iraq, Afganistan, Tunisia dan Libya adalah bukti segelintir negara yang hingga kini tidak mencapai titik stabil pasca invansi militer Amerika. Sebaliknya, Jutaan jiwa warga sipil di kawasan itu menjadi tumbal proyek “demokratisasi”, “humanisasi” yang mereka usung.  

Kondisi Suriah Pra-Krisis

Bashar al-Assad secara resmi menjabat sebagai presiden Suriah melalui pemilu yang dilangsungkan pada 27 Mei 2007. Hasil pemilu mengumumkan bahwa Al-assad mampu meraih suara mayoritas rakyat Suriah mencapai 89,4% suara, hasil ini secara otomatis menjadikannya tampil sebagai pemenang dan terpilih sebagai presiden Suriah untuk yang kedua kalinya. Di bawah al-assad, perekonomian Suriah berkembang dan mengalami banyak kemajuan. Terhitung sejak tahun 2000, sebagai periode pertama bagi al-assad dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara, Suriah mulai menapaki langkah dengan penuh kehati-hatian. ditempuhnya sistem ekonomi proteksionis menandai perubahan kebijakan yang membedakan al-assad dengan presiden sebelumnya yang tak lain ayahnya sendiri. Suriah kemudian memasuki masa transisi dan transformasi dari sistem ekonomi sentralistis kearah ekonomi pasar terbuka.

Dengan kata lain, Al-assad tengah membuka kran ekonomi, namun tidak menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Dengan demikian, negara tetap mengontrol jalannya perekonomian yang sedang berlangsung. Hal ini berdampak signifikan dalam menjaga stabilitas dan keamanan dalam negeri yang masih dalam status perang dengan Israel.
Namun, laju ekonomi yang sedang menggeliat itu mengalami obstruksi ketika Amerika menjatuhkan sanksi embargo terhadap Suriah sejak akhir tahun 2004 melalui "Syria Account-ability Act", sebagai usaha guna memperlambat dan mempersulit integrasi ekonomi nasional dalam perkembangan ekonomi global. Pemerintah Suriah kemudian mengambil sikap  mengubah seluruh transaksi dalam dan luar negeri dari mata uang dollar AS menjadi Euro pada pertengahan Februari 2006. Di kemudian hari, langkah ini memicu sentimen lebih besar terhadap Suriah.
Pemerintah Suriah juga menerapkan kebijakan dan deregulasi dibidang investasi, keuangan dan perbankan, perdagangan dan fleksibilitas usaha swasta. Sekali lagi dengan catatan negara masih memegang kontrolnya. Hal itu berhasil memancing investor lokal untuk terlibat dalam program pemerintah sehingga nilai investasi meningkat mencapai 7 miliar dollar AS (2005), naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 4 miliar dollar AS.
Ciri lain yang membedakan investasi Suriah ialah 70 persen dari nilai investasi berasal dari investor lokal, 24 persen selebihnya dari negara-negara Arab dan hanya 6 persen dari negara non-Arab. Artinya, guna merangsang perkembangan ekonomi dalam negeri, Suriah tidak bergantung terhadap investor luar negeri, hal ini membedakan katakter investasi Suriah dengan negara-negara yang lain.

kemajuan ekonomi di Suriah kian melesat seakan tidak mengalami dampak buruk embargo. Pada tahun-tahun berikutnya, bersamaan dengan diperpanjang dan diperketatnya sanksi terhadap Suriah (2006-2007), Suriah secara bertahap mengizinkan bank-bank swasta beroperasi. Hasilnya cukup mengesankan, lagi-lagi Suriah mampu mempecundangi AS dan sekutunya dengan menunjukkan Pertumbuhan ekonomi Suriah yang bukannya semakin merosot, akan tetapi justeru semakin meningkat. selama tahun 2006, pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen , Tahun 2007 naik menjadi 5,2 persen dengan pendapatan per kapita 1.570 dollar AS (sekitar Rp 14,4 juta) pertahun dengan pelayanan publik yang murah meriah. Laju inflasi hanya 11 persen serta angka pengangguran 9 persen. Jadi, apa yang harus dipermasalahkan?

Hal lain yang tak kalah pentingnya dari perekonomian Suriah adalah struktur ekonomi yang berbasis pada sumber alam dimana minyak bumi menempati posisi utama dengan produksi 400.000 barrel per hari, dapat dibayangkan pendapatan negara Suriah disektor perminyakan yang notabenenya memiliki harga tinggi di pasar internasional. Disusul Produksi di sektor pertanian seperti kapas, gandum, minyak zaitun dan buah-buahan.

Pertanian selain telah menjamin swasembada pangan nasional dengan konstribusi 25 persen dari GDP, sektor ini juga menyerap 30 persen dari total angkatan kerja. Produksi pertanian khususnya Gandum yang mencapai 5 juta ton per tahun mampu menciptakan ketahanan pangan di kawasan Timur Tengah. Ditambah lagi pemasukan negara dari sektor pariwisata yang menjadi unsur pendukung dengan kontribusi 1,8 miliar dollar AS dan tingkat kunjungan 3,4 juta wisatawan per tahun.
Perkembangan pesat juga terjadi di sektor perdagangan luar negeri, Suriah masih menjalin kerja sama perdagangan  negara-negara di kawasan Timur Tengah termasuk Turki sebagai mitra dagang tradisional utama. Suriah juga menjalin hubungan dagang cukup kuat dengan Uni Eropa, khususnya Jerman, Italia, Perancis dan Inggris. Simbiosis mutualisme Suriah dengan Rusia dan negara Eropa Timur mengalami perkembangan pesat, terutama setelah Rusia menerapkan elemen preferensial dan pengurangan bea masuk untuk produk Suriah ke Rusia.
Dengan negara-negara di kawasan Asia, Suriah terikat transaksi perdagangan terutama dengan China, Jepang, Indonesia dan Malaysia. Produk-produk impor Suriah mencakup mesin-mesin industri, peralatan transportasi dan komponen kendaraan, tekstil dan garmen. Minyak kelapa sawit dan barang-barang elektronik. Sedangkan produk andalan ekspor Suriah selain minyak mentah adalah kapas, tekstil, Fosfat dan produk pertanian.
Al-assad juga menggenapkan kesuksesan Suriah dengan menghapus utang luar negeri melalui program penjadwalan kembali pembayaran beban negara tersebut. dimulai pada tahun 2004, Polandia menyetujui Suriah membayar sebesar 2,7 juta dollar AS dari total 261,7 juta dollar AS. Sementara pada awal tahun 2005, Rusia telah membebaskan utang Suriah senilai 13 miliar dollar AS. Republik Ceko dan Slovakia menghapus utang Suriah yang semula 1,6 miliar dollar AS menjadi 150 juta dollar AS melalui sekali pembayaran.
Hal itu cukup menggambarkan sebuah kondisi Sosial, ekonomi dan Politik di suriah yang nyaris sempurna, sekaligus bahan yang cukup sebagai bantahan bagi tudingan-tudingan lawan yang dituduhkan kepada Bashar al-Assad sebagai presiden yang tidak demokratis dan kejam. Tidak ditemukan pula sebuah variabel yang menjadi cukup alasan untuk melengserkan Al-assad secara inkonstitusional, kecuali sebatas propaganda untuk menjustifikasi usaha kudeta secara halus melalui tangan para penjagal yang sengaja didatangkan dari luar Suriah.

Pentingnya Mempertahankan Suriah

Tak dapat dipungkiri bahwa gerakan overthrowing (penggulingan) terhadap Bashar al-Assad merupakan upaya serius bagaimana melumpuhkan negara berjuluk “Craddle of Civilization” itu untuk kemudian menggantinya dengan oposisi yang siap menjalankan agenda-agenda politik zionis dan imperialis. Karena tidak ada kemungkinan lain dari tujuan penggulingan al-Assad atau penguasaan terhadap Suriah, kecuali pemusnahan terhadap tembok penghalang penguasaan tanah Palestina dan kawasan timur tengah secara keseluruhan sebagai satu dari rangkaian final destination.

Secara geografis, daratan Suriah merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan Lebanon dan Laut Tengah di sebelah baratnya, Turki di sebelah utara, Irak di sebelah timur, Yordania di sebelah selatan dan Israel di barat daya. Pada mulanya daerah ini hanya menjadi jembatan yang menghubungkan antara dua peradaban besar (Mesopotamia dan Mesir). Terdapat jalan terkenal yang menghubungkan Mesopotamia dan Mesir yang membentang melalui Suriah-Palestina. Jalan tersebut lazimnya disebut dengan Via Maris.

Garis besar mengapa daerah ini diperebutkan sepanjang sejarah disebabkan posisinya sebagai ‘jembatan’ yang menghubungkan antara negeri Timur dan Barat sehingga berpotensi secara ekonomi, politik dan militer. Selain itu, daratan Suriah menempati titik omphalos di tengah kawasan dengan pegunungan-pegunungan tinggi mengelilingi daerah utara yang berfungsi sebagai benteng alam, serta padang gurun yang sangat luas di sebelah selatan. Letak dan kondisi daratan Suriah menjadikannya sebagai tempat paling strategis dan sulit ditaklukkan sehingga menguntungkan secara militer.

Posisi Suriah dengan dataran tinggi Golan sebagai perbatasannya, secara tidak langsung mengcover wilayah Israel, terlebih dengan sikap konsisten Suriah yang berseberangan secara politik dan cenderung melindungi Palestina. Hal ini dengan sendirinya menyebabkan Israel tidak dapat merangsek lebih maju, terisolasi dan secara otomatis keleluasaannya terhambat secara geo-politik.

Intinya, jika kawasan Suriah dengan posisinya yang strategis serta peranan politiknya yang signifikan berhasil didekonstruksi, maka hampir dapat dipastikan sebagian besar kawasan timur tengah jatuh ke dalam genggaman Amerika-Israel dan otomatis perlawanan akan melemah, jalur ekspansi akan terbuka semakin lebar dan nyaris tanpa hambatan.

Konfrontasi militer kali ini adalah sesi yang menentukan bagi kedua belah pihak. Di atas  situasi ini Sayed Hasan Nasrallah menentukan sikap sebagaimana dia sampaikan di akhir pidatonya ”sebagaimana saya menjanjikan kepada kalian kemenangan abadi, saya menjanjikan kepada kalian kemenangan dalam waktu dekat. ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar