Media barat serta saudara sepupunya media salafi wahabi dan media-media pro-ekstremis islam gencar mempengaruhi opini publik dengan memberi gelar “si pembunuh” terhadap Bashaar al-Asaad, Presiden Suriah. Bahkan, untuk kasus Libya dan Syria, justru Al Jazeera (media yang sering dicitrakan sebagai media non-Barat), malah menjadi ujung tombak untuk menggalang opini dunia agar AS diberi hak untuk melakukan ‘humanitarian intervention’: menyerbu Libya dan Syria, menggulingkan Qaddafi dan As’ad, dan mengganti keduanya dengan pemimpin yang bisa ‘diatur’
untuk itu sebelum anda terpengaruh opini-opini negatif yang berkembang di media-media sekuler ataupun media konservatif yang kurang objektif, ada baiknya Anda menyimak pembahasan fakta-fakta berikut ini:
Siapa Bashaar al-Assaad..?
Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Syiria – Asad adalah ‘ayah’ bagi jutaan pengungsi Palestina dan Irak. Sejak 63 tahun yang lalu, Syria adalah tempat berlindung bagi orang-orang Palestina yang terusir dari tanah air mereka sendiri. Syria bahkan menjadi markas perjuangan Hamas untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. Kondisi 500.000 pengungsi Palestina di Syria jauh lebih baik daripada kondisi pengungsi Palestina di Lebanon atau Jordan.
Para pengungsi itu mendapat layanan kesehatan dan perumahan yang sama sebagaimana rakyat Syria. Lebih dari itu, perang Irak pun membawa dampak membanjirnya pengungsi ke Syria. AS yang konon datang ke Irak untuk menyelamatkan rakyat Irak, justru telah menyebabkan 1,5 juta warga Irak terpaksa mengungsi, menjauhkan diri dari berbagai aksi kekerasan di Irak. Bagi Syria yang berpenduduk 18 juta jiwa itu, kedatangan 2000 pengungsi per hari (data tahun 2007) , jelas memerlukan sebuah kelapangan hati yang luar biasa. Bandingkan dengan Mesir era Mubarak yang dengan bengis menutup pintu perbatasan Rafah, menghalangi pengungsi Palestina, yang sekarat sekalipun, untuk mendapatkan pertolongan.
Menurut UNHCR, kedatangan pengungsi dalam jumlah sangat besar itu menambah berat beban Syria karena mereka diberi layanan sebagaimana warga Syria: pendidikan, kesehatan, rumah, dan subsidi minyak. Tak heran bila Syria disebut sebagai negara yang terbaik di kawasan Timur Tengah dalam memberikan layanan sosial dan ekonomi bagi para pengungsi. Dan kini, AS dan sekutu-sekutunya berupaya menggulingkan Assad dengan alasan demokrasi.
Namun, alasan sesungguhnya adalah jelas: Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Asad adalah duri dalam daging. Dan kepada AS-lah Israel meminta bantuan untuk menyingkirkan Asad.
AS, lagi-lagi, menggunakan cara lama, membiayai dan mempersenjatai kelompok-kelompok oposan di Syria untuk melawan Asad. Media pun digunakan untuk membesar-besarkan demo di Syria (bahkan dengan cara curang sekalipun, dengan menggunakan kamuflase gambar- gambar dan video).
Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Syria
Konflik di Syria telah memasuki fase baru. Bila sebelumnya kaum oposisi ‘berjuang’ di bawah bendera Syrian National Council dan Free Syrian Army (FSA), kini masing-masing faksi di dalamnya mulai berpecah dan menampakkan ideologinya masing-masing. SNC dan FSA dibentuk di Turki. Di dalam FSA bernaung sebagian besar milisi (sebagian pihak menyebutnya ‘mujahidin’), termasuk Al Qaida. Mereka menjadikan Sheikh Adnan Al-Arour yang tinggal di Arab Saudi sebagai pemimpin spiritual. Dalam salah satu pidatonya yang bisa dilihat di You Tube, Al Arour menjanjikan bahwa bila pasukan mujahidin menang, kaum Alawi akan ‘dicincang seperti daging anjing’.
Kaum muslim ‘moderat’, dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin, memilih untuk bergabung dalam National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces yang baru dibentuk bulan November lalu di Doha, Qatar. Koalisi baru ini didukung oleh Qatar, Arab Saudi, AS, Inggris, dan Prancis. Negara-negara tersebut selama ini memang sudah membiayai, mengirimi senjata, dan memfasilitasi kedatangan pasukan ‘jihad’ dari berbagai negara Arab dan Libya untuk membantu FSA, namun kini secara terbuka telah menyatakan akan mengirim bantuan senjata kepada koalisi baru tersebut. Jadi, meskipun ‘moderat’, koalisi baru ini tetap akan angkat senjata melawan rezim Assad.
Kelompok-kelompok yang berhaluan Hizbut Tahrir (meski tidak mengatasnamakan diri Hizbut Tahrir, tetapi mendapat dukungan secara terbuka dari berbagai cabang HT di dunia, termasuk dari Indonesia), mengecam pembentukan koalisi baru tersebut. Kelompok ini, antara lain, Gabhat al Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar Souria memilih memisahkan diri dan mendeklarasikan perjuangan untuk membentuk khilafah di Syria.
Meski ‘bercerai-berai’, kelompok oposisi Syria memiliki suara dan tekad yang sama: menumbangkan “rezim Assad yang sesat dan kafir”. Mereka pun selama ini saling membantu dalam menciptakan opini publik: betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri. Semua ini mengaburkan fakta yang sebenarnya terang benderang: AS dan Israel ingin menggulingkan rezim Assad dan menggantikannya dengan rezim yang mau ‘mengamankan’ Israel. Konflik Syria-Israel adalah catatan sejarah yang panjang yang kini coba diabaikan dan ditutupi oleh isu perjuangan jihad melawan kaum ‘Alawi yang kafir’ itu.
AS dan sekutunya sebenarnya menggunakan skenario yang persis sama dengan Libya: dukung kelompok oposisi dengan persenjataan. Ketika pemerintah berusaha mengendalikan pemberontakan (lalu, apalagi yang harus dilakukan pemerintah menghadapi pemberontak? Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia bila misalnya, tiba-tiba sekelompok gerilyawan di Jawa Barat angkat senjata dan ingin mengambil alih pemerintahan? Diam saja dan menyerahkan pemerintahan atas nama demokrasi?), kelompok oposisi pun berteriak meminta bantuan internasional (dengan nama indah: ‘humanitarian intervention’). Lalu, datanglah NATO membombardir Libya. Qaddafi tumbang, pemerintahan pun digantikan oleh tokoh-tokoh yang ‘lunak’ dan membiarkan semua proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak diambil oleh perusahaan-perusahaan Barat.
Inilah yang sedang terjadi di Syria.
Awalnya, sejak Januari 2011, rakyat Syria diseru via facebook dan twitter untuk turun ke jalan. Ada aksi demo, tapi sangat tidak signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan aksi demo di Kairo. Lalu, terjadilah tragedi Daraa, kota kecil berpenduduk 75.000 jiwa yang dekat perbatasan Jordania. Jurnalis independen Prancis, Thierry Meyssan sejak awal mengendus pemilihan Daraa sebagai titik awal gerakan bersenjata kaum oposisi karena mudahnya suplai senjata dan milisi jihad dari Jordan. Demo di Daraa terjadi tanggal 23 Maret 2011. Jumlah yang tewas adalah 7 polisi dan sedikitnya 4 demonstran. Adanya data bahwa polisi tewas dalam demonstrasi itu sangat penting karena ini menunjukkan bahwa ada tembak-menembak antara polisi dan demonstran. Artinya, demonstrasi saat itu bukanlah demonstrasi damai seperti diklaim media massa Barat. Selain itu, pemberitaan media (salah satunya, Aljazeera) juga menunjukkan bahwa markas kantor Partai Baath dan kantor pengadilan juga dirusak massa. Demonstrasi damaikah ini?
Berbeda dengan kondisi di Mesir dan Tunisia di mana aksi demo local memuncak menjadi demo nasional yang berpusat di ibu kota negara, justru menyusul tragedi di Daraa, muncul demo besar-besaran yang mendukung Assad. Demo itu terjadi di Damaskus, tanggal 26 Maret 2011. Kantor berita Reuters yang menyiarkan foto-fotonya, namun, tidak disebut-sebut dalam pemberitaan media-media mainstream. Televisi Syria menyiarkannya secara live. Rekaman aksi demo dengan jumlah massa yang sangat massif ini bisa didapatkan di You Tube.
Selanjutnya terjadi aksi-aksi kerusuhan bersenjata di berbagai tempat, dengan korban di dua pihak, polisi dan massa. Tapi, tentu saja, yang disebarluaskan media massa dunia dan media massa Islam yang berafiliasi dengan organisasi ‘mujahidin’ adalah rezim Assad melakukan kebrutalan terhadap rakyat. Fakta yang ditemukan jurnalis-jurnalis independen sejak awal, terkait suplai senjata dan pasukan dari negara-negara Arab, diabaikan begitu saja.
Temuan para blogger tentang rekayasa foto-foto dan film yang disebarkan media massa juga dianggap sepi, padahal semua begitu jelas: gambar demo di Tunisia disebut demo di Syria, gambar demo pendukung Assad, disebut demo anti-Assad, gedung hancur di Palestina disebut gedung yang hancur di Syria; orang tewas berdarah-darah di Palestina disebut korban pembunuhan Assad; serangan brutal yang dilakukan mujahidin diklaim sebagai serangan tentara Assad, dan banyak lagi.
Dan tentu saja, sekali lagi, ketika pasukan mujahidin bersenjata sedemikian lengkap dan didukung pasukan jihad multinasional, lalu pemerintah melawan, pastilah ada korban di kedua pihak. Keduanya harus diekspos seimbang. Namun yang selalu diungkap oleh media mainstream dan yang berafiliasi dengannya adalah korban di pihak ‘mujahidin’. Untunglah, ada jurnalis-jurnalis independen dan citizen journalist yang dengan gigih melakukan pengimbangan berita.
Para pengamat politik yang concern pada masalah Syria akan sepakat bahwa Rezim Assad berideologi sosialis dan haluan pemerintahannya sangat sekuler. Rezim Assad jauh sekali dari definisi ‘pemerintahan berhaluan Alawi’. Tapi karena ‘kebetulan’ dia dan kalangan elit pemerintahnya bermazhab Alawi, isu Sunni-Syiah dijadikan pretext jihad. Mengingat 80% rakyat Syria adalah Sunni, tentu logikanya, mereka sangat kuat. Data-data menunjukkan bahwa mayoritas anggota militer Syria adalah Sunni, meski elitnya Alawi. Bila mayoritas mereka memang membenci Assad, sangat mudah menumbangkannya, sebagaimana tumbangnya para diktator lain: Syah Reza Pahlevi, Ben Ali, Mubarak. Tak perlu ada pasukan asing yang didatangkan dari berbagai penjuru Arab; tak perlu mengemis bantuan senjata dari luar; tak perlu menyebarkan isu mazhab; tak perlu berkoalisi dengan AS yang jelas-jelas sekutu Israel.
Dulu, Syah Pahlevi di Iran, kurang kuat apa secara militer? Militer Iran saat itu yang terkuat di Timteng, dilatih langsung oleh CIA dan MOSAD, dukungan besar pun diberikan Barat karena kilang-kilang minyak Iran saat itu dikuasai Inggris dan AS. Tapi karena mayoritas rakyat Iran, apapun mazhab dan agamanya, memang sudah muak, mereka bangkit tanpa senjata, hanya berdemo masif berpekan-pekan. Tentu saja, mereka ditembaki tentara Syah; tapi mereka tidak membalas dengan senjata, dan tidak pula minta bantuan asing. Akhirnya, Syah pun tumbang, hanya dengan aksi demo; sebagaimana juga Ben Ali dan Mubarak.
Lalu bagaimana ujung dari konflik ini? Minimalnya ada dua hal yang bisa diprediksi:
Seandainya Assad terguling dan kelompok jihad meraih kekuasaan, di antara mereka pun akan muncul peperangan karena perbedaan manhaj; di antara mereka sejak awal sudah ada perbedaan visi, model pemerintahan Islam seperti apa yang akan dibentuk? Sejak sekarang pun di antara mereka sudah saling kecam.
AS sendiri sedang ketakutan melihat potensi berdirinya khilafah. Selain telah memasukkan Gabhat Al Nousra dalam daftar teroris, AS pun mulai berupaya terjun langsung ke medan perang. Thierry Meyssan melaporkan, AS tengah berencana mengirim 6000 pasukan jihad, termasuk 4000 orang dari Lebanon, lalu beberapa mantan jenderal angkatan bersenjata pemerintah akan mengklaim berhasil meraih kekuasaan dan meminta bantuan internasional. Hal ini, ditambah dengan isu penggunaan senjata kimia oleh Assad akan dijadikan pretext perang yang melibatkan NATO atau PBB.
Para Budak Zionis
Apapun yang akan terjadi ke depan, yang jelas, mayoritas rakyat Syria kini menderita. Syria, negeri yang indah dan disebut sebagai the craddle of civilization itu kini luluh lantak. Lebih setengah juta rakyat hidup menderita di pengungsian. Kaum perempuan Syria juga jadi korban perdagangan perempuan, dijual ke lelaki-lelaki hidung belang dari negara-negara Arab pendukung perang. Dan akar semua ini adalah ketidakmampuan sebagian elemen Syria mengidentifikasi siapa musuh mereka sebenarnya. Mereka merasa sedang berjuang, padahal sebenarnya sedang menari bersama iringan genderang musuh. (Sumber: http://www.theglobal-review.com/)
Perang Suriah Jadi Objek Wisata Turis Israel
Pertumpahan darah pihak pemberontak dengan tentara Suriah rupanya bisa menjadi obyek wisata. Buktinya, saat ini banyak turis asal Israel datang ke Dataran Tinggi Golan untuk melihat perang saudara itu dari perbatasan kedua negara.
Surat kabar the Times of Israel melaporkan, Rabu (25/7), wisatawan itu datang dari pelbagai kota besar Israel, mulai dari Haifa, Tel Aviv, maupun Jericho. Mereka rata-rata berbekal teropong kecil atau kamera untuk menyaksikan pertempuran di Kota Jobata al-Khasab, kota perbatasan Suriah.
Beberapa turis mengaku menikmati sensasi perang, misalnya mendengar suara ledakan atau desingan peluru dari jauh. Tidak hanya warga sipil Israel, Menteri Pertahanan Ehud Barak melakukan hal serupa. Dia memantau situasi negara tetangganya itu juga lewat salah satu bukit di Dataran Tinggi Golan.
Gilanya lagi, adanya fenomena menonton langsung perang ini segera ditangkap oleh pengusaha di Negeri Zionis itu. Beberapa perusahaan wisata sudah merancang paket menonton perang Suriah dalam promo tur mereka.
mantap
BalasHapus